Kedai Kopi Di Sudut Jalan
Kedai kopi di sudut jalan.Rangkaian Kepulan asap rokok, dentingan gelas, dan beribu obrolan terdengar di tempat ini. Mancis dipetik...
Kedai kopi di
sudut jalan.Rangkaian Kepulan asap rokok, dentingan gelas, dan beribu obrolan
terdengar di tempat ini. Mancis dipetik untuk menyalakan sebatang rokok, malam
itu kulayani seorang teman lama yang telah memesankan kopi aceh untukku.
“Arloji yang ku kasi masih kau
pake juga ya…hahaha”.Logat batak dan suara tawanya benar-benar bisa meledakkan
seisi kedai kopi.kuhisap rokokku, kuhembuskan perlahan sambil menyeruput kopi.
“Sudahla pak polisi, jangan
segan kau sama aku.”kembali dia mengajakku untuk membalas
obrolannya.Kusandarkan tubuhku pada bangku plastik yang kududuki,sambil
tersenyum aku membalas ucapannya “Udala bang, abang tu orang baik.Tak pantas
masuk penjara” jawabku….
Untuk kesekian kalinya, lelaki
gimbal ini memintaku untuk menjebloskannya ke penjara.Namun tidak pernah
kukabulkan permintaanya itu.
“Hahaha…monyet kau!”suara tawa
dan celaannya kembali masuk ke telinga ku.
“Kau tu sekarang polisi, bukan adikku lagi”ujarnya.Hanya
senyuman yang bisa kubalas untuknya.
Obrolan dua orang abang beradik
yang sangat hangat.Kedai kopi di sudut jalan menjadi tempat langganan kami
untuk mengobrol hampir tiap malamnya.Seisi kedai kopi semuanaya kenal siapa
kami.Seorang polisi dan seorang buronan yang saling mengobrol santai di kedai kopi.
“Baliklah, aku
dulu bg...nanti gak enak dilihat orang”.hatiku benar-benar menyuruhku untuk
pergi dari si lelaki jangkung berambut gimbal ini.
”Tunggu,Ku
antar kau!”balasnya.
”Gak usala
bang, kopi abg masih banyak tu”.jawab ku untuk menolak tawarannya.
Lelaki itu kembali
membuat nyaman posisi duduknya.Kemudian ia seruput kopi yang disediakan
untuknya.Kukancing jaket kulitku, kemudian akupun pergi meninggalkannya di
kedai kopi.
Selembar kertas pengunguman ku
bawa pulang ke rumah, siang hari setelah aku berhasil lulus ujian nasional.Jika
orang lain tahu kertas yang kubawa,mungkin mereka mengaggapku sudah gila.Kertas
itu berisikan pengunguman tentang penerimaan taruna akademi kepolisian.Aku
seorang yatim piatu yang tinggal dengan seorang preman pasar memang tidak
pantas untuk berangan-angan menjadi seorang polisi.
Parlindungan,terlihat tertawa
cekikan ketika membaca isi kertas itu.”Serius kau ni..hihihihhahaha…” tanyanya
padaku.Bukannya marah, ternyata kertas pengunguman ini benar-benar membuat
aktif urat tertawanya.
“itu sudah jadi cita-citaku
bang”jawabku sambil merunduk.
“Baru tau aku, polisi rupanya
cita-cita kau…”jawabnya lagi.
Si
preman pasar meninggalkan ku pergi, menuju kamarnya yang di penuhi warna warni
cat pilox dan poster-poster ganja dan minuman keras ala orang-orang
rege.Mungkin dia tidak mau memarahiku,dan tidak mau mematahkan semangatku.
Firasatku berkata bahwa aku telah menyinggung perasaannya.
Bang parlin telah merawatku
sejak aku SD.Dulu Kedua orang tuaku adalah pedagang es cendol di pasar tempat
kekuasaannya.Kedua Orang tuaku sudah dianggapnya sebagai orang tuanya. Dia sering bercerita bahwa orang tuaku adalah
orang yang paling diseganinya di pasar.Aku tidak pernah tahu, seorang kepala
preman pasar bisa segan dan takluk dengan seorang pedagang es cendol.Walaupun
sudah 10 tahun aku hidup dengannya,cita-cita menjadi seorang preman atau
kriminal tidak pernah terbesit dalam pikiranku.Hal ini karena bang Parlin
melarangku untuk mengikuti jejaknya.Dia berusaha menghidupiku dan
menyekolahkanku dengan hasil rampokan dan setoran pedagang-pedagang
pasar.Bahaya Merokok dan menenggak minuman keras sering ku dengar terucap dari
mulutnya.Walaupun setiap pagi, kudapati dirinya terkapar di dekat lobang wc
karena pulang dari mabuk-mabukan. Satu nasehat yang selalu kuingat darinya,”Kau
tu adek aku,bukan kawan mabuk aku”.Sebuah curahan isi hati yang polos dari seorang kriminal.
Terus kutundukkan kepalaku,
kertas pengunguman tadi telah menjadi korban
jari-jariku.Ku pandangi pintu kamar bang Parlin. Tidak ada tanda-tanda
dari dalam kamarnya.Mungkin dia sudah tidur pulas dengan mimpi-mimpinya.
Walaupun dia mendidikku untuk tidak menjadi seperti dirinya, tapi aku baru
tersadar dia tidak pernah menyuruhku untuk menjadi musuhnya.Menjadi seorang
polisi yang sering dimakinya ketika menonton televisi.
Dorongan emosi, mendorong
tangan-tangaku untuk lebih kejam lagi mengulung kertas.Ku remas dan ku buang ke keranjang sampah di sudut
ruangan.Ku rebahkan tubuhku ke lantai. Sambil berpikir, Mungkin saja Bang Parlin
tidak akan mendukung cita-citaku.Masih untung dia tidak marah padaku.
Bang parlin keluar dari
kamarnya. Tidak terlihat rona kekecawaanya dari wajah sangarnya.Benar-benar
diluar dugaanku, sebuah celengan kotak wafer miliknya di letakkannya di
depanku.
“Isi celengan ni, maksud aku mau
kusekolahkan kau jadi dokter..”jawabnya sambil membuka tutup celengan denga
pisau.
“Treng…tring..ting…”Celengan
terbuka dengan kumpulan uang kertas dan receh yang sangat banyak.
“Maksud aku, biar bisa kau rawat
aku nanti kalau sudah sakit-sakitan”, sambungnya lagi.
Aku masih diam, lidahku belum
berani untuk mengucapkan sebuah kata.Namun di tetap membalas sebuah senyuman
kepadaku.
“Sudahlah, janganla kau diam
terus”Balasnya lagi.
“Kenapa abang nyuruh aku jadi dokter bang?”ku balas
dengan sebuah pertanyaan
“Bah,..Kan sudah kubilang. aku
ni tiap hari mabuk.Paru-paru aku ni sudah habis dibantai rokok”.jawabnya
“Terus?”jawabku polos.
“Kan bisa gampang aku
berobat.Biar aku dirawat nanti kalau sudah sakit-sakitan…Setidaknya aku mati di
rumah sakit.Bukan di Lapo tuak..hahaha.”candanya.
Sebuah gurawan yang benar-benar
berhasil membuat aku malu kepada diriku.Aku tidak pernah menyangka,Bang parlin
berharap aku menjadi seorang dokter.
"Sudahlah, Polisi kan juga
sanggup masukkin aku kerumah sakit.”ujarnya sambil tersenyum.
Entah berapa
uang yang sudah dihitungnya.Dia juga menyuruhku untuk menjual televisi di rumah
ini, jika uang tabungannya tidak cukup untuk membiayaiku untuk test masuk
akademi kepolisian.Tidak ada hal penolakan dan kekecawaan yang kudapat dari dirinya.Aku
baru tersadar, kalau hal ini sangat sulit untuk dipercaya.Tapi telah nyata
terjadi,kukembangkan senyum dan kuraih tangannya sambil berucap terima kasih.
Dua orang polisi berpakaian
preman menghampiri seorang lelaki jangkung yang berambut gimbal.Bang parlin
telah menjadi target operasi dalam kasus pembunuhan seorang pengusaha
elektronik.Dua orang bawahanku berhasil menangkapnya tanpa perlawanan di sebuah
kedai kopi di sudut jalan.Sebelumnya, telah kutitipkan dua pucuk surat kepada bawahanku untuknya.Surat
penangkapan dan surat yang berisi permintaan maaf seorang adik yang berjanji
akan merawatnya hingga akhir hayat.Walaupun dia akan menjadi seorang terpidana yang meringkuk di penjara nantinya.
Penangkapan berjalan lancar
tanpa masalah.Dua polisi dengan seorang tahanannya pergi meninggalkan kedai
kopi di sudut jalan. Keheningan beberapa detik berlangsung di kedai kopi ini.
Para pelanggan kedai kopi sibuk dengan tatapannya kepada kedua polisi dan Bang
Parlin. Tidak ada yang percaya sang kepala preman akhirnya berhasil ditangkap
tanpa perlawanan.
Berjalan santai tanpa borgol, Bang
Parlin akhirnya berhadapan dengan mobil tahanan.Seorang polisi membukakan pintu
untuknya.Sambil tersenyum, bang Parlin menitipkan pesan kepada bawahanku
sebelum masuk kedalam mobil tahanan.
“Sampaikan sama bos kalian,
ternyata dikabulkannya juga permintaanku.”ujarnya.
Tugasku di kepolisian kali ini
memang benar-benar menguras emosiku.Saya tidak pernah menyangka akan
menjebloskan si kepala preman pasar ke penjara.Teman lama yang telah kuanggap
sebagai abangku sendiri.Seorang abang yang telah membuatku mendapatkan
cita-citaku. Aku yakin, dia takkan marah kepadaku atas kejadian malam ini.Namun
aku akan selalu pegang janjiku kepadanya.
Kecap asin
Pekanbaru,
5 November 2012
Post a Comment: